Vonis ringan ini dinilai berbahaya karena dapat menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
Publik khawatir, alasan seperti sikap sopan dan tanggung jawab keluarga akan terus digunakan untuk melindungi koruptor kelas kakap.
Lebih ironis lagi, kerugian negara sebesar Rp300 triliun merupakan angka yang sangat fantastis dan seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam menjatuhkan hukuman.
Lalu, apakah vonis ini benar-benar adil bagi masyarakat yang terus dirugikan oleh praktik korupsi?
Dalam perspektif publik, kasus ini seolah menegaskan bahwa hukum di Indonesia masih tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Baca Juga: Galaxy A06 5G, Smartphone 5G Murah dari Samsung yang Bikin Penasaran, Kapan Rilisnya?
Keputusan ini juga mencerminkan lemahnya keberpihakan lembaga peradilan terhadap rakyat kecil yang menjadi korban nyata dari tindakan korupsi.
Vonis ringan Harvey Moeis bukan hanya soal hukuman, tetapi juga soal wibawa hukum di mata masyarakat.
Sebagai bangsa yang berkomitmen melawan korupsi, kasus ini seharusnya menjadi pengingat bahwa keadilan tidak boleh tunduk pada alasan-alasan yang tidak relevan.
Jika praktik seperti ini terus berlanjut, bagaimana kita bisa berharap pada masa depan penegakan hukum yang lebih baik?
Inilah saatnya publik terus mengawal dan mendesak reformasi sistem peradilan agar hukum benar-benar menjadi alat keadilan, bukan hanya formalitas di atas kertas.***