Sebab, kapasitas produksi telur nyamuk ber-Wolbachia masih terbatas.
"Rencana perluasan bertahap ya. Persoalan pertama adalah kemampuan kita membuat nyamuk ber-Wolbachia, mulai telur dilepaskan, kapasitas kita belum cukup," jelas Maxi.
"Di 5 kota ini, tiap minggu memerlukan 40-an juta telur, karena dia lepas tiap dua minggu."
Adanya kerja sama antara Kemenkes dan World Mosquito Program (WMP) serta Bio Farma untuk pembangunan pabrik nyamuk ber-Wolbachia nantinya, diharapkan kapasitas produksi telur bertambah.
Baca Juga: Prabowo Tegaskan Indonesia Harus Mandiri: Jangan Kira Bangsa Lain Sayang Sama Kita!
Selanjutnya, bila kapasitas produksi telur nyamuk besar, maka Kemenkes dapat memperluas cakupan teknologi Wolbachia ke daerah lain.
"Kalau kita sudah punya kapasitas yang besar, kita bisa bertahap utnuk memperluas cakupan (penerapan Wolbachia) kita. Kita mulai dulu di ibu kota provinsi, sesudah itu kita cari (daerah) mana penduduk yang padat," imbuh Maxi Rein Rondonuwu.
Maxi Rein Rondonuwu menambahkan area produksi telur nyamuk ber-Wolbachia.
Yakni di Laboratorium Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Laboratorium Kesehatan Masyarakat Milik Kemenkes di Salatiga, Jawa Tengah.
"Sekarang kita punya produksi telur Wolbachia di lab UGM, ada mungkin 8 juta per minggu, di lab kesmas Salatiga sama juga, sekitar 7-8 juta per minggu," tambahnya.
"Di Bali (Universitas Udayana) sudah, tapi di sana ada pro kontra. Tapi produksi telur akan kita pakai di Bali."
Lantas, bagaimana hasil evaluasi Wolbachia di 5 kabupaten/kota yang menjadi pilot project dalam penurunan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD)?
Maxi menyebut hasilnya akan dievaluasi.
"Ini kan masih baru. Tapi yang di Yogya udah ada hasilnya, insidensi rate-nya turun, rawat inap turun. Jadi di 5 kabupaten/kota akan kita lihat lagi sesudah ini jalan tahun ini. Karena kan kapastas produksi telur juga terbatas," pungkasnya.***