HUKAMANEWS - Presiden Prabowo Subianto meneken surat rehabilitasi tiga mantan pejabat PT ASDP Indonesia Ferry. Nama paling mencuri perhatian: mantan Direktur Utama ASDP, Ira Puspadewi.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan kabar itu dari Istana Presiden. “Presiden sudah menandatangani surat rehabilitasi,” ujarnya.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, hanya memberikan jawaban singkat. Ketika ditanya apakah rehabilitasi berarti pembebasan, ia menjawab, “Ya kira-kira begitulah.”
Tiga nama yang sempat dicap sebagai terdakwa korupsi itu yakni Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi (eks Direktur Komersial & Pelayanan), dan Harry Muhammad Adhi Caksono (eks Direktur Perencanaan & Pengembangan).
Baca Juga: Jangan Lelah Mencintai Indonesia, Bahkan Saat Pengabdian Dibalas Bui
Sebelumnya, Ira divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta, subsider 3 bulan kurungan. Yusuf dan Harry dijatuhi 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta masing-masing, juga subsider 3 bulan.
Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat menyatakan mereka bersalah atas dugaan korupsi di proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (2019–2022). Putusan ini menimbulkan protes karena dinilai mengabaikan fakta bahwa mereka tidak menerima keuntungan pribadi.
Dalam pledoinya di persidangan, Ira menyatakan dengan tegas: “Aku tidak korupsi sepeser pun. Kerugian negara itu angka fiktif.” Ia menegaskan bahwa akuisisi itu adalah langkah bisnis demi memperkuat ASDP dan menjaga layanan publik, bukan untuk kepentingan pribadi.
Jaksa KPK awalnya menuntut hukuman lebih berat: 8 tahun 6 bulan penjara, dengan tuduhan merugikan negara hingga Rp 1,25 triliun. Angka ini menjadi titik sengketa dan perdebatan publik yang terus bergulir.
Suara Ahli: Rhenald Kasali Angkat Alat Ukur Logika
Profesor Manajemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, ikut menyuarakan kejanggalan dalam kasus ini. Ia menyebut kemiripan antara kasus Ira dan skandal Tom Lembong: sama-sama tidak mengambil uang, tetapi tetap dihukum karena “merugikan negara.”
Menurut Kasali, perhitungan kerugian negara sebesar Rp 1,25 triliun patut dipertanyakan. Nilai kapal yang diakuisisi dinilai melalui konsultan profesional, tetapi oleh penyidik dianggap “besi tua” dan dihitung hanya Rp 19 miliar — dasar tuduhan kerugian negara.
Dalam persidangan Tipikor, Kasali menjelaskan bahwa keputusan akuisisi perusahaan rugi bukan hal aneh di dunia bisnis. “Itu lazim terjadi,” katanya, memberi contoh akuisisi global di mana perusahaan rugi kemudian berbalik untung setelah dikelola dengan profesional dan hati-hati.