Burhanuddin Muhtadi Bongkar Celah Etik DPR: Anggota Bermasalah Kok Bisa Balik Duduk di Kursi Dewan?

photo author
- Rabu, 5 November 2025 | 19:45 WIB
Burhanuddin Muhtadi soroti putusan MKD DPR soal sanksi etik anggota dewan. (HukamaNews.com / Berita Satu)
Burhanuddin Muhtadi soroti putusan MKD DPR soal sanksi etik anggota dewan. (HukamaNews.com / Berita Satu)

HUKAMANEWS – Keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR terhadap sejumlah anggota dewan kembali menuai kritik publik.

Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menilai, putusan tersebut memperlihatkan lemahnya sistem etik di DPR yang memungkinkan anggota “problematik” tetap atau kembali bertugas.

Publik menyoroti putusan yang menyatakan Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, dan Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) terbukti melanggar kode etik, sementara Uya Kuya dan Adies Kadier dinyatakan tidak terbukti.

Perbedaan hasil ini dianggap menimbulkan kesan “dua standar” dalam penegakan etik di lembaga legislatif.

Baca Juga: 6 Fakta Mencengangkan Kasus Korupsi Gubernur Riau Abdul Wahid, Jatah Preman hingga Uang Asing Disita KPK

Fenomena ini membuka kembali diskusi lama: apakah MKD cukup kuat menegakkan kode etik DPR, atau justru terjebak dalam politik internal yang membuat sanksi terasa simbolis saja.

Dalam sidang etik, MKD DPR memutuskan bahwa Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, dan Eko Patrio melanggar kode etik dan dijatuhi sanksi.

Ahmad Sahroni bahkan dikenai hukuman nonaktif selama enam bulan sejak putusan dibacakan.

Sementara itu, Uya Kuya dan Adies Kadier dinyatakan tidak melanggar dan dipulihkan hak serta kewenangannya sebagai anggota DPR.

Burhanuddin Muhtadi menilai, situasi ini memberi sinyal bahwa mekanisme etik di DPR belum sepenuhnya efektif.

Baca Juga: Nasib Ahmad Sahroni cs di Ujung Tanduk, Sidang MKD DPR Bacakan Putusan Usai Drama Joget dan Ucapan Kasar!

Menurutnya, jika anggota dewan yang melanggar bisa kembali bekerja tanpa pemulihan moral yang jelas, kepercayaan publik akan terus terkikis.

“Sanksi seharusnya bukan hanya administratif, tapi juga memperkuat akuntabilitas moral,” ujarnya.

Kritik publik makin keras karena MKD bersifat internal, di mana prosesnya kerap tertutup bagi publik.

Transparansi rendah ini membuat masyarakat sulit memantau bagaimana penentuan sanksi dilakukan dan sejauh mana pelanggaran dipertimbangkan secara objektif.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Jiebon

Sumber: Berita Satu

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X