Dari total Rp40 miliar, sebagian besar diterima dalam bentuk dolar AS dan dolar Singapura, yang didistribusikan kepada sejumlah pihak di lingkungan pengadilan.
Rinciannya: Djuyamto disebut menerima setara Rp9,5 miliar, Agam Syarief Rp6,2 miliar, Ali Muhtarom Rp6,2 miliar, dan Muhammad Arif Nuryanta lebih dari Rp15 miliar.
Sementara panitera muda Wahyu Gunawan menerima sekitar Rp2,4 miliar.
Uang tersebut diyakini sebagai imbalan atas putusan lepas (ontslag van alle recht vervolging) yang dijatuhkan majelis hakim kepada ketiga korporasi besar itu. Namun dalam persidangan, para terdakwa membantah bahwa uang tersebut berkaitan langsung dengan putusan.
Jaksa mendakwa mereka dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca Juga: Budi Arie dan Jokowi Bertemu di Solo, Bahas Projo hingga Singgung Arah Politik Ridwan Kamil
Luka Etik di Dunia Peradilan
Air mata yang tumpah di ruang sidang Hatta Ali sore itu seolah menjadi simbol dari luka moral yang dalam di tubuh lembaga peradilan.
Bagi publik, kasus ini bukan sekadar perkara hukum, melainkan pengingat bahwa integritas hakim — penjaga terakhir keadilan — adalah pondasi yang rapuh bila kejujuran goyah.
Bagi hakim Effendi, mungkin sidang ini akan dikenang bukan karena vonis yang dijatuhkan, melainkan karena rasa kehilangan terhadap makna mulia profesinya sendiri.
“Kenapa ini bisa terjadi?” ucap Effendi, menatap rekan-rekannya yang kini duduk di kursi terdakwa.
Pertanyaan itu menggantung di ruang sidang — menjadi gema yang jauh lebih berat dari ketukan palu hakim mana pun.***