Terdakwa Kasus PPDS Undip Ciptakan Tujuh Kasta Untuk Memperlancar Pungutan BOP Kepada Setiap Mahasiswa

photo author
- Senin, 26 Mei 2025 | 20:14 WIB
Kedua terdakwa kasus kematian mahasiswa PPDS Anestesi FK Undip Semarang mulai digelar di Pengadilan Negeri Semarang, Senin (26/5) (Elizabeth Widowati )
Kedua terdakwa kasus kematian mahasiswa PPDS Anestesi FK Undip Semarang mulai digelar di Pengadilan Negeri Semarang, Senin (26/5) (Elizabeth Widowati )

HUKAMANEWS  - Setiap residen mahasiswa PPDS Fakultas Kedokteran Undip Semarang wajib membayar iuran sebesar Rp 80 juta dengan alasan untuk biaya operasional pendidikan (BOP).

Hal ini terungkap saat sidang perdana kasus bullying, yang menyebabkan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Undip dr Aulia Risma meninggal, digelar di Pengadilan Negeri (PN) Semarang,Senin 26 Mei 2025

Dalam sidang pertama tersebut, jaksa menghadirkan terdakwa dr Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani  di ruang sidang Prof Oemar Seno Aji, Pengadilan Negeri Semarang.

Baca Juga: Juni 2025 Bikin Senyum Lebar! Ada 2 Long Weekend Siap Menanti, Sudah Tahu Tanggalnya?

"Terdakwa dr Taufik Eko Nugroho secara konsisten menyatakan bahwa setiap residen atau mahasiswa PPDS semester 2 ke atas wajib membayar iuran biaya operasional pendidikan (BOP) sampai dengan sebesar kurang lebih Rp 80 juta per orang," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sandhy Handika di PN Semarang.

Sandhy mengatakan, uang tersebut diklaim untuk memenuhi keperluan ujian CBT, OSS, proposal tesis, konferensi nasional, CPD, jurnal reading, dan publikasi ilmiah serta kegiatan lainnya yang berujung dengan persiapan akademik.

"Mahasiswa PPDS lintas angkatan sejak tahun 2018-2023 sebenarnya merasa keberatan, tertekan dan khawatir atas iuran yang diwajibkan oleh terdakwa dr Taufik Eko Nugroho itu," ujarnya.

Baca Juga: Antar Jemput Pakai Perahu Karet, Pelajar di Wilayah Sayung Demak Tetap ke Sekolah

"Namun, mereka tidak berdaya karena terdakwa dr Taufik Eko Nugroho dalam kedudukannya sebagai KPS (Kepala Program Studi) menciptakan persepsi bahwa kepesertaan dalam ujian dan kelancaran proses pendidikan sangat ditentukan oleh ketaatan membayar iuran BOP," tambahnya.

Dalam dakwaan itu, Taufik disebut juga mengingatkan berulangkali soal iuran BOP dalam pertemuan dengan para bendahara angkatan. Disebutkan bahwa perbuatan Taufik dipahami sebagai ancaman nyata terhadap keberlanjutan pendidikan para mahasiswa PPDS. Untuk melancarkan penerimaan uang iuran itu, Taufik disebut memanfaatkan kasta di tengah lingkungan PPDS anestesi.

Dijelaskan disitu bahwa sistem kasta secara formal membagi residen atau mahasiswa PPDS ke dalam tujuh tingkatan hirarki. Mulai dari mahasiswa tingkat satu, kakak pembimbing (kambing) atau mahasiswa tingkat dua, middle senior yakni mahasiswa tingkat tiga-empat, senior atau mahasiswa tingkat lima, shift of shift atau mahasiswa tingkat 6-7, dewan suro atau mahasiswa tingkat 8 atau akhir, hingga dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).

Baca Juga: Usai Kabar Beri Uang 1 Miliar ke Ibu Mendiang Argo, Setia Budi Tarigan, Ayah Christiano Siapkan Seabrek Lawyer untuk Bebaskan Anaknya!

"Sistem tingkatan atau kasta antartingkatan ini diberlakukan secara turun-temurun dan dikuatkan melalui doktrin internal yang dikenal sebagai pasal anestesi," kata Sandhy.

Sandhy mengatakan, pasal anestesi yang dijalankan residen baru itu secara eksplisit menempatkan mahasiswa baru dalam posisi tunduk tanpa pilihan terhadap senior, termasuk dalam hal keuangan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Elizabeth Widowati

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X