HUKAMANEWS – Fenomena kelompok penyimpangan seksual bernama Fantasi Sedarah dipandang Peneliti Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, dipengaruhi oleh kultur anonimitas, dukungan sosial internal, dan lemahnya pengawasan.
Anonimitas di dunia maya dikatakan menciptakan deindividuasi, yaitu hilangnya rasa tanggung jawab dan kontrol diri, sehingga orang lebih berani mengekspresikan hasrat menyimpang. Apalagi kurangnya moderasi platform bikin ruang-ruang ini bersemi.
“Media sosial memperkuat echo chamber, mempertemukan orang-orang dengan kecenderungan yang sama dan memperkuat keyakinan mereka,” ujar Wawan, Jumat 16 Mei 2025.
Baca Juga: Panganan Singkong Khas Cilegon Ini, Masuk Pasar Malaysia dan Jepang
Wawan menyebut untuk mengatasinya, dibutuhkan pendekatan sistemik, membangun norma sosial yang menolak kekerasan, memperkuat pelaporan dan perlindungan anak, serta edukasi keluarga tentang batasan dan hak anak atas tubuhnya.
Sementara itu apa yang dilakukan pemerintah dengan memblokir akun grup tersebut juga tidak cukup. Lia Latifah selaku Wakil Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan langkah take down bisa jadi akan memunculkan grup-grup dengan nama berbeda tapi isinya serupa.
Artinya, lembaga berwenang harus memberikan penguatan kepada anak, orang tua, atau masyarakat secara umum ketika ada hal-hal yang mencurigakan. Di lingkungan sekolah misalnya, guru bisa mengasah daya kritis anak-anak agar mereka bisa mengenali bentuk pelecehan dan melaporkan pelecehan yang dialami kepada orang yang sekiranya bisa memberi perlindungan.
“Jadi kalau misalnya ada perilaku-perilaku orang tua yang menurut anak-anak tidak wajar, mereka kita ajarkan untuk berani melaporkan. Nah sebetulnya ini bukan hanya tugas dari Komnas Perlindungan Anak saja, tetapi semua elemen masyarakat ini harus bisa memberikan pengawasan, memberikan perlindungan kepada semua anak-anak, di manapun anak-anak itu berada,” ujarnya.
Lia mendorong pemerintah untuk rutin melakukan pengawasan ataupun mengimbau masyarakat, untuk memberikan laporan ketika dijumpai situs-situs yang mengandung muatan kejahatan terhadap anak-anak.
“Itu harus dilaporkan. Jadi bukan hanya platform Facebook, kita juga pernah melaporkan YouTube. Kita juga melaporkan Tik Tok juga pada saat di dalam sana banyak anak-anak yang menjadi para pelaku kekerasan, anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual, anak-anak yang menjadi korban, itupun kita laporkan,” katanya melanjutkan.
Dari sisi penegakan hukum di ranah siber, menurut Lia, aparat bisa mulai mencari di mana akun-akun ini berasal dan siapa yang menyebarkan grup ini.
Teknologi Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri cukup mumpuni untuk mengungkap akun-akun anonim.***
Artikel Terkait
Gen Z Perlu Sadari , Inilah 5 Langkah Efektif Mencegah Kekerasan Seksual
Meski Bantah Lakukan Kekerasan Seksual, Aktivis UI Melki Sedek Huang Dapat Sanksi Administratif Skorsing Satu Semester
Menteri PPPA Minta Usut Tuntas Kasus Kekerasan Seksual di Purworejo Jawa Tengah
Perombakan Pendidikan Pesantren di Jawa Tengah Harga Mati, Angka Kekerasan Seksual Naik 100 Persen
Lagi Ramai Kasus Cewek Jadi Korban Kekerasan Seksual, Diduga Dilakukan Salah Satu Residen PPDS di RS Bandung