Bulan Rajab Ada Tradisi Sadranan di Dusun Slamet Meteseh Boja

photo author
- Senin, 6 Januari 2025 | 07:04 WIB
Warga Dusun Meteseh Boja Kendal terlihat khusuk berdoa dalam tradisi Sadranan di bulan Rajab, Jumat (3/1) (Elizabeth Widowati )
Warga Dusun Meteseh Boja Kendal terlihat khusuk berdoa dalam tradisi Sadranan di bulan Rajab, Jumat (3/1) (Elizabeth Widowati )

HUKAMANEWS -Sebagai rasa syukur menyambut datangnya bulan Ramadan 1446 H yang akan jatuh pada awal Maret 2025, warga Kampung Slamet Desa Meteseh Kecamatan Boja Kabupaten Kendal Jawa Tengah menggelar tradisi tahunan nyadran atau sadranan. Nyadran digelar di pemakaman setempat yang bernama Makam Ndowo, Jumat Kliwon, 3 Januari 2025 lalu. 

Sekitar pukul 05.30 WIB warga mulai berduyun-duyun menuju lokasi nyadran. Mereka ada yang berjalan kaki dan ada yang naik sepeda motor. Warga tumpek-blek memenuhi jalan menuju makam. Masing-masing orang--baik perempuan maupun laki-laki membawa wakul berisi nasi lengkap dengan lauk-pauknya yang dibungkus daun pisang. Wakul itu diikat dengan selendang yang dikaitkan dengan punggung dan pundaknya. Lauk-pauk yang dibawa pun beraneka rupa. Mulai dari ikan, ayam, tempe-tahu, lengkap dengan sayur-mayur ataupun mi. 

Beberapa perangkat dusun sebelumnya telah menyiapkan alas tempat nasi berupa daun pisang. Warga yang datang langsung menuangkan isi wakul masing-masing di atas daun pisang sehingga, nasi dari para warga saling menyatu sambung menyambung menjadi satu di hadapan warga.  

Baca Juga: Alvin Lim Meninggal Dunia Ditengah Penantian Cangkok Ginjal, Perjuangan Hidup Seorang Pengacara Melawan Penyakitnya

Selang beberapa saat, sekira pukul 06.15 WIB, setelah tak ada lagi warga yang datang—karena dirasa warga yang ikut nyadran sudah berada di lokasi, maka nyadran dimulai. Modin (salah satu perangkat desa, urusan agama) atau di Dusun Slamet kerap disebut Pak Lebai, Muhammad, memimpin proses awal hingga akhir, mulai dari salam pembuka, tahlil singkat, hingga doa. Sebelum tahlil dan doa, Pak Lebai terlebih dahulu menyampaikan tausiyah. 

Setelah selesai doa dengan diamini seluruh orang yang hadir, maka, acara dilanjutkan dengan makan bersama. Masing-masing orang menyantap hidangan yang digelar di hadapan mereka. Semua yang hadir juga saling menyicipi menu makanan yang dibawa warga lain di sisi kanan-kirinya. Tak selang berapa lama, setelah makan bersama, masing-masing warga mengisi kembali wakul yang mereka bawa dengan nasi dan lauk-pauk yang tergelar di hadapan mereka. Antarsatu orang dengan yang lain saling bertukar lauk untuk “diberkat” dibawa pulang.

Nyadran merupakan tradisi masyarakat yang masih mengakar kuat dalam kebudayaan Jawa. Tradisi ini biasa dilakukan untuk menyambut kedatangan bulan suci Ramadan. Lazimnya pada bulan ruwah untuk penanggalan Jawa dan Sya’ban untuk kalender Islam. Nyadran hadir sebagai tradisi yang tercipta dari proses akulturasi antara budaya Jawa dengan budaya Islam. Selain untuk menghormati leluhur, Nyadran selalu dilaksanakan setiap tahun untuk melestarikan tradisi tersebut secara turun-temurun.

Baca Juga: Setelah Covid-19, Kini Muncul Virus HMPV di China, Masyarakat Indonesia Diminta Antisipasi Lebih Awal

“Nyadran memiliki prosesi dan waktu pelaksanaan yang berbeda-beda di setiap wilayah. Di dusun kami, tradisi nyadran diselenggarakan setiap tahun pada hari Jumat Kliwon pada bulan Rojab/Rejeb,” kata Pak Lebai Muhammad, di sela-sela kegiatan nyadran.

Sebelum nyadran, lanjut Muhammad, warga melakukan kegiatan resik-resik (membersihkan) makam leluhur secara gotong royong. Selain itu, juga memangkas tanaman atau rumputan/ilalang yang tumbuh di sekitar makam leluhur. 

Menurut Muhammad, tradisi nyadran bertujuan mendoakan leluhur yang sudah meninggalkan dunia dan untuk mengingatkan diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan mengalami kematian. “Nyadran juga sebagai sarana melestarikan budaya gotong royong sekaligus upaya untuk menjaga keharmonisan masyarakat melalui kegiatan kembul bujono atau makan bersama,” tuturnya. 

Baca Juga: Lebih Canggih dari Vision Pro? Headset Mixed Reality Vivo Siap Bikin Apple Panas Dingin di Tahun 2025

Sementara itu, menurut budayawan dan Guru Besar Antropologi Universitas Diponegoro Semarang, Prof Mudjahirin Thohir, menuturkan, pada tataran yang lebih luas, nyadran atau ruwahan ditarik masuk sebagai ritual komunal, yakni kebutuhan warga secara bersama-sama. Di banyak desa di Jawa, secara bersama-sama berziarah ke makam pepundennya.

“Tokoh atau leluhur yang dipundi-pundi karena jasa baiknya. Mereka datang ke makam pepunden untuk berdoa dan saling mendoakan,” jelasnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Elizabeth Widowati

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X