Saldi mengatakan penerapan angka ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden terbukti tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
Di sisi lain, penetapan besaran atau persentasenya dinilai tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
"Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan," imbuh Saldi.
MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.
Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.
Sekalipun pemilu presiden dilaksanakan serentak dengan pemilu anggota legislatif, sejatinya mandat rakyat atau pemilih diberikan secara terpisah.
Menurut Mahkamah, menggunakan presidential threshold berdasarkan perolehan suara atau kursi DPR memaksakan logika sistem parlementer dalam praktik sistem presidensial Indonesia.
Baca Juga: Vonis Ringan Koruptor Timah, Ketimpangan Hukum, dan Tantangan Kepemimpinan Pemerintahan Prabowo
Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.
"Sehingga terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya. Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapa pun besaran atau angka persentasenva adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," katanya.
Atas pertimbangan di atas, MK menyimpulkan pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Akan tetapi, terdapat dua hakim konstitusi yang berbeda pendapat, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Perkara ini dimohonkan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.***
Artikel Terkait
Cagub DKI Jakarta Pramono Anung Akui Baru Bisa Fokus Atasi Permasalahan Jakarta, Jika Tak Ada Gugatan Paslon 01 dan 02 ke MK
275 Gugatan Pilkada 2024 Menunggu Putusan yang Menentukan, Apakah MK Bisa Jadi Penentu Keadilan yang Diandalkan?
Breaking News, MK Kabulkan Gugatan Larangan Penggunaan Artificial intelligence dalam Foto Kampanye di Pemilu dan Pilpres
Partai Demokrat Sambut Baik Putusan MK yang Hapus Ketentuan Ambang Batas Pencalonan Presiden
MAKI Ajukan Gugatan ke MK Terkait Keabsahan Pimpinan KPK yang Ditunjuk Jokowi, Aturan UU Presiden Hanya Boleh 1 Kali, Jokowi Dua Kali!