Roblox Corporation memang telah memperketat aturan, seperti membatasi obrolan teks dan suara untuk pengguna di atas 13 tahun yang telah verifikasi wajah.
Namun, pakar keamanan siber Pratama Persadha menilai predator tetap bisa memanipulasi filter kata menggunakan kode atau ejaan modifikasi, lalu memindahkan interaksi ke aplikasi lain.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana child grooming menjadi modus favorit pelaku, memanfaatkan sifat gim daring yang interaktif dan tak memisahkan pemain anak-anak dari orang dewasa.
Psikolog Kasandra Putranto mengingatkan, tanda korban grooming bisa dilihat dari perubahan perilaku drastis, waktu daring yang berlebihan, menerima hadiah misterius, hingga menarik diri dari lingkungan sosial.
Meski pemerintah sudah memiliki payung hukum seperti Permen Kominfo No. 2/2024 tentang Klasifikasi Gim, pengawasannya dinilai belum maksimal.
Konsultan keamanan digital Alfons Tanujaya bahkan meminta adanya jalur aduan khusus untuk kasus anak di dunia daring.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, memastikan Roblox belum akan diblokir, namun pengawasan terus dilakukan.
“Kami lihat, kami evaluasi. Dirjen Pengawasan Ruang Digital terus memantau,” ujarnya di Istana Kepresidenan.
Kasus ini menjadi peringatan bahwa pengawasan anak di ruang digital tidak bisa diserahkan pada sistem gim semata.
Orang tua, pemerintah, dan penyedia platform harus bergerak bersama agar dunia maya tak berubah menjadi ladang perburuan bagi predator seksual.***