Mampu menampung 40 hingga 60 orang, masyarakat beramai-ramai menggunakan Jalur untuk mengangkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu. Seiring waktu, muncul berbagai Jalur yang diberi ukiran-ukiran indah, selendang, tali-temali dan berbagai aksesoris pemanis lainnya.
Lambat laun, Jalur tidak hanya berfungsi sebagai alat angkut namun juga sebagai simbol status sosial masyarakat pada kala itu.
Pasalnya, hanya datuk-datuk, bangsawan atau penguasa wilayah saja yang dapat mengendarai Jalur berhias.
Semakin mewah hiasannya, semakin eksklusif pula Jalur tersebut.
Barulah pada abad ke-18, warga mulai menggelar lomba adu kecepatan antara Jalur yang sampai hari ini dikenal sebagai Pacu Jalur.***