Mampu menampung 40 hingga 60 orang, masyarakat beramai-ramai menggunakan Jalur untuk mengangkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu. Seiring waktu, muncul berbagai Jalur yang diberi ukiran-ukiran indah, selendang, tali-temali dan berbagai aksesoris pemanis lainnya.
Lambat laun, Jalur tidak hanya berfungsi sebagai alat angkut namun juga sebagai simbol status sosial masyarakat pada kala itu.
Pasalnya, hanya datuk-datuk, bangsawan atau penguasa wilayah saja yang dapat mengendarai Jalur berhias.
Semakin mewah hiasannya, semakin eksklusif pula Jalur tersebut.
Barulah pada abad ke-18, warga mulai menggelar lomba adu kecepatan antara Jalur yang sampai hari ini dikenal sebagai Pacu Jalur.***
Artikel Terkait
Riau Siap Jadi Tuan Rumah HPN 2025, Pj Gubri: Bangga dan Total Dukung!
Tokoh Agama dan Lintas Iman Riau Bersatu Hadapi Krisis Lingkungan
Kali Ini Rocky Gerung Galang Kampanye Selamatkan Bumi di Jambore Karhutla 2025 Siak Provinsi Riau
Tak Ada Lagi Harimau Sumatera di Taman Rimba Riau, Si Uni Jadi