HUKAMANEWS - Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memanas dan kali ini mengancam stabilitas energi global.
Amerika Serikat terlihat semakin waspada setelah muncul kabar dari parlemen Iran yang disebut-sebut telah menyetujui rencana penutupan Selat Hormuz.
Langkah tersebut bukan hanya memicu kekhawatiran regional, tapi juga bisa menimbulkan efek domino terhadap pasokan minyak dunia.
Pasalnya, Selat Hormuz merupakan jalur vital yang dilintasi sekitar 20 persen suplai minyak dan gas global setiap harinya.
Tak ingin krisis energi makin memburuk, AS pun mengambil langkah tak biasa.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio meminta pemerintah China untuk turun tangan membujuk Iran agar membatalkan rencana tersebut.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam sebuah wawancara dengan Fox News, sebagaimana dikutip pada Senin, 23 Juni 2025.
Rubio menyebut bahwa posisi China cukup strategis untuk melakukan pendekatan terhadap Teheran, mengingat hubungan dagang mereka yang cukup erat.
Beijing tercatat membeli hingga 1,8 juta barel minyak per hari dari Iran pada bulan lalu, menjadikannya sebagai importir terbesar minyak Iran saat ini.
Permintaan AS ini juga bukan tanpa alasan ekonomi.
Penutupan Selat Hormuz dinilai akan memberikan pukulan berat bagi perekonomian China, mengingat ketergantungannya terhadap pasokan energi dari jalur tersebut.
"Kalau Iran benar-benar menutup Selat Hormuz, dampaknya akan sangat besar untuk semua pihak, termasuk China sendiri," ujar Rubio.
Ia bahkan menyebut skenario itu sebagai "bunuh diri ekonomi" bagi negara-negara yang sangat bergantung pada minyak dari kawasan Teluk.