Kemudian, ada aspek relatabilitas.
Kucing, dengan semua kebiasaan unik mereka, seringkali dianggap merefleksikan perilaku manusia.
Dari kebutuhan akan kenyamanan hingga keinginan untuk diperhatikan, kita bisa melihat diri kita sendiri dalam aksi mereka.
Ini menciptakan ikatan emosional antara penonton dan konten kucing, membuatnya lebih menarik untuk dibagikan dan dikomentari.
Dalam konteks pemasaran digital, kucing adalah emas murni.
Merek dan influencer telah lama menyadari bahwa kucing adalah magnet untuk engagement.
Baca Juga: Belajar Bahasa: Advokat atau Adpokat, Mana yang Benar Menurut KBBI?
Postingan yang menampilkan kucing cenderung mendapatkan lebih banyak suka, komentar, dan bagikan dibandingkan konten tanpa elemen menggemaskan ini.
Itulah sebabnya, tidak jarang kita melihat kucing menjadi "wajah" dari berbagai kampanye iklan atau bahkan menjadi influencer mereka sendiri.
Namun, di balik semua ini, terdapat pesan yang lebih dalam tentang bagaimana kita berinteraksi dengan hewan peliharaan kita di era digital.
Di satu sisi, fenomena kucing di media sosial memperkuat ikatan antara manusia dan hewan, meningkatkan kesadaran tentang kesejahteraan hewan dan adopsi.
Di sisi lain, ini juga menimbulkan pertanyaan tentang privasi dan kesehatan mental hewan yang terpapar terus menerus di media sosial.
Sebagai kesimpulan, kucing telah merebut hati dunia digital bukan hanya karena keimutan mereka, tetapi karena mereka mencerminkan aspek kemanusiaan kita: kebutuhan akan hiburan, cinta, dan koneksi.