HUKAMANEWS - Warisan budaya Toraja kembali menjadi sorotan setelah tongkonan berusia lebih dari 300 tahun di Tongkonan Ka’pun, Kecamatan Kurra, Tana Toraja, dirobohkan dalam proses eksekusi lahan yang berakhir ricuh.
Eksekusi lahan adat yang disebut sudah melewati proses hukum ini berbuntut pada bentrokan antara warga setempat dan aparat gabungan yang melakukan pembongkaran.
Pembongkaran tongkonan, alang penyimpan padi, serta rumah warga menyulut emosi masyarakat adat yang menganggap putusan pengadilan tidak mempertimbangkan nilai sejarah, kekerabatan, dan spiritual masyarakat Toraja.
Proses eksekusi lahan yang berlangsung pada Jumat (5/12/2025) dilakukan berdasarkan putusan pengadilan, dengan objek eksekusi berupa enam lumbung padi (alang), tiga tongkonan, dan dua rumah semi permanen di Tongkonan Ka’pun.
Baca Juga: Nasib Honorer dan PPPK Masih Menggantung? DPR Tunda Revisi UU ASN, Ada Skema Baru Meritokrasi?
Salah satu tongkonan yang dirobohkan disebut merupakan bangunan adat yang telah berdiri lebih dari tiga abad, menyimpan sejarah keluarga besar, narasi leluhur, ritus adat, dan status sosial dalam struktur masyarakat Toraja.
Alat berat jenis excavator diturunkan untuk merobohkan bangunan satu per satu, sementara sebagian warga melakukan penolakan, membangun barikade, serta mencoba menghalangi laju alat berat menggunakan batang kayu, ban bekas, dan ranting.
Ketegangan meningkat ketika warga pendukung Tongkonan Ka’pun melakukan perlawanan menggunakan bom molotov, panah busur, dan petasan, sementara aparat melakukan tindakan pengamanan dan menembakkan gas air mata.
Benturan Hukum Modern vs Hak Adat
Kasus ini menunjukkan bagaimana sengketa lahan adat di Indonesia masih menyisakan celah hukum, terutama ketika keputusan pengadilan berhadapan langsung dengan nilai adat dan struktur sosial.
Bagi masyarakat Toraja, tongkonan bukan sekadar rumah.
Ia adalah identitas keluarga, bukti garis keturunan, pusat upacara adat, serta simbol hubungan manusia dengan leluhur.
Dalam banyak kasus di Indonesia, konflik tanah adat terjadi karena perbedaan perspektif antara legalistik modern dan legitimasi adat turun-temurun.
Di sejumlah wilayah, masyarakat menganggap hak kepemilikan tanah diperoleh dari leluhur, sementara dokumen formal negara biasanya berdasar alas hak administratif dan perpajakan.
Di media sosial, publik menyoroti hilangnya nilai sejarah sebagai kejadian yang mengkhawatirkan.