Konteks era 2007–2009 menunjukkan bahwa KPK berada dalam tekanan politik dan institusional yang sangat kuat.
Respons masyarakat terhadap beragam kasus yang muncul kala itu menggambarkan polarisasi opini publik, sebagian meragukan proses hukum, sementara lainnya mempertanyakan dinamika internal KPK.
Dengan meninggalnya Antasari, narasi lama ini kembali muncul dan menimbulkan dorongan kuat agar KPK melakukan introspeksi mendalam.
Jimly bahkan menekankan bahwa kepergian Antasari harus menjadi momentum pembenahan KPK, terutama di tengah situasi saat ini ketika peran Kejaksaan Agung semakin dominan dalam pemberantasan korupsi.
Pergeseran ini menandai fase baru bagi ekosistem hukum Indonesia yang membutuhkan kolaborasi kuat antar-lembaga.
Di media sosial, banyak warganet menilai Antasari sebagai tokoh yang “penuh luka sejarah”, tetapi tetap dihormati karena ketegasan dan keberaniannya mengambil risiko.
Sebagian lainnya menyebut kepergiannya sebagai penutup bab penting dalam perjalanan panjang pembenahan hukum Indonesia.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Antasari tidak hanya meninggalkan jejak personal, tetapi juga meninggalkan warisan institusional bagi KPK dan publik.
Konteks saat ini memperlihatkan bahwa masyarakat semakin kritis terhadap penegakan hukum.
Nama Antasari kembali dianggap relevan untuk mengingatkan bahwa lembaga seperti KPK membutuhkan transparansi, integritas, dan keberanian dalam menghadapi tekanan internal maupun eksternal.
Pelajaran inilah yang ditekankan Jimly sebagai fondasi reformasi hukum yang sedang didorong pemerintah.
Akhir Perjalanan Sang Penegak Aturan
Antasari Azhar menghembuskan napas terakhir di usia 72 tahun di kediamannya di kompleks Les Belles Maisons, Serpong Utara, Tangerang Selatan.