Meski begitu, UI tidak menutup mata terhadap kritik publik. Arie menyebut kasus ini menjadi pembelajaran penting agar kampus lebih selektif dalam mengundang pembicara asing.
“Kami memahami keprihatinan publik. Kasus ini menjadi perhatian positif agar UI lebih sensitif di masa mendatang,” tambahnya.
Pada akhirnya, UI meminta maaf secara terbuka. Arie mengakui pihak kampus lalai melakukan pemeriksaan latar belakang terhadap Berkowitz sebelum mengundangnya.
“Dengan segala kerendahan hati, UI mengakui kurang hati-hati dan meminta maaf sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat Indonesia,” kata Arie.
Permintaan maaf ini disambut beragam reaksi. Sebagian publik menilai sikap UI sudah tepat karena mau mengakui kesalahan, sementara yang lain berharap ke depan universitas tak lagi melakukan blunder serupa.
Isu ini pun menyinggung sentimen publik terhadap posisi Indonesia di kancah internasional.
Dukungan terhadap Palestina sudah menjadi konsensus politik luar negeri Indonesia sejak era Soekarno, sehingga menghadirkan sosok pro-Israel di forum akademik dianggap melukai sensitivitas bangsa.
Pengamat hubungan internasional menilai kejadian ini seharusnya jadi peringatan bagi perguruan tinggi di Indonesia untuk lebih berhati-hati.
“Kampus adalah ruang akademik, tapi tetap harus peka terhadap konteks geopolitik dan nilai yang dipegang masyarakat,” kata seorang dosen HI dari Jakarta, Senin (25/8).
Kasus undangan Peter Berkowitz di UI menunjukkan betapa sensitifnya isu Israel-Palestina di mata publik Indonesia.
Meski maksud acara bersifat akademis, latar belakang narasumber justru menimbulkan krisis kepercayaan yang harus segera dipulihkan.
Kini, janji UI untuk lebih selektif dalam memilih pembicara diharapkan bukan sekadar wacana, melainkan langkah nyata demi menjaga reputasi kampus dan kepercayaan masyarakat.***