Permintaan maaf itu disampaikan secara terbuka sebagai bentuk tanggung jawab moral dari pihak yayasan terhadap peristiwa yang mencoreng citra lembaga mereka.
Namun demikian, Adi juga menilai bahwa beberapa tudingan yang beredar di media sosial sudah terlalu dibesar-besarkan.
Ia menyatakan bahwa tindakan terhadap KDR, salah satu santri yang disebut menjadi korban, terjadi setelah KDR diduga terlibat dalam berbagai pelanggaran disiplin seperti vandalisme, kehilangan barang, dan penjualan air galon tanpa izin pengelola pondok.
Pihak pesantren menyebut kejadian itu sebagai bentuk “pelajaran moral”, meskipun cara yang dilakukan tetap menimbulkan pertanyaan besar tentang batas wajar tindakan pembinaan.
Kasus ini membuka diskusi lebih luas soal pola pembinaan di lingkungan pesantren dan peran hukum dalam melindungi hak-hak santri sebagai anak didik.
Apalagi, lembaga pendidikan berbasis agama memiliki posisi yang sangat strategis dalam membentuk karakter generasi muda.
Penegakan hukum yang adil dan menyeluruh dalam kasus ini menjadi penting agar tidak mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan keagamaan.
Kini, publik menanti langkah tegas dari pihak kepolisian dalam menuntaskan kasus ini tanpa pandang bulu.
Baca Juga: Para Fans Garuda, Stay Calm Saat Timnas Indonesia Bermain, Jaga Dari Covid -19
Dengan munculnya kasus seperti ini, penting bagi setiap lembaga pendidikan, termasuk pesantren, untuk mengevaluasi ulang metode pembinaannya agar tidak melampaui batas hukum maupun kemanusiaan.
Sebagaimana harapan banyak pihak, keadilan tidak hanya berhenti pada permintaan maaf, tapi juga pada keberanian untuk mempertanggungjawabkan perbuatan secara hukum.***