Diskusi bertajuk “Soeharto Pahlawan atau Penjahat HAM?” ini menjadi panggung refleksi, sekaligus pengingat bahwa gelar pahlawan bukan sekadar penghargaan simbolik.
Gelar tersebut harus diberikan kepada sosok yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan demokrasi.
Para aktivis 98 menegaskan bahwa sejarah tidak boleh dilupakan, apalagi direvisi demi narasi yang menyesatkan.
Penolakan ini menjadi penting di tengah munculnya kembali glorifikasi masa Orde Baru, yang oleh sebagian pihak dianggap lebih stabil.
Baca Juga: Pijat dan Jamu Jadi Service Plus Hewan Kurban Agar Tetap Sehat dan Tidak Stres
Namun di sisi lain, banyak pihak justru menekankan bahwa stabilitas yang dibangun saat itu tidak lepas dari represi dan pelanggaran HAM yang masih menyisakan luka hingga kini.
Pernyataan sikap ini juga menunjukkan bahwa semangat reformasi belum pudar, dan masih dijaga oleh generasi yang dahulu berada di garis depan perjuangan.
Aktivis 98 berharap pemerintah tidak gegabah dalam menentukan siapa yang layak diberi gelar pahlawan nasional.
Sikap kritis ini diharapkan bisa menjadi pertimbangan serius agar sejarah tetap berada di jalur yang benar, dan tidak digunakan sebagai alat politik yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan begitu, bangsa ini bisa terus bergerak maju tanpa mengabaikan pelajaran dari masa lalu.***