nasional

Soeharto Mau Jadi Pahlawan? Aktivis 98 Langsung Angkat Suara, Ini Alasan Penolakannya!

Minggu, 25 Mei 2025 | 07:05 WIB
Penolakan gelar pahlawan untuk Soeharto disuarakan aktivis 98 demi jaga warisan demokrasi dan keadilan HAM. (HukamaNews.com / Tangkapan layar)

HUKAMANEWS - Wacana mengangkat Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai pahlawan nasional kembali memicu perdebatan publik.

Kali ini, suara penolakan datang dari para aktivis reformasi 1998 yang secara tegas menyatakan keberatan terhadap usulan tersebut.

Penolakan itu bukan sekadar ekspresi spontan, melainkan disampaikan dalam forum resmi bertajuk “Refleksi 27 Tahun Reformasi: Soeharto Pahlawan atau Penjahat HAM?” yang digelar di Grand Syahid, Jakarta, pada Sabtu, 24 Mei 2025.

Dalam forum tersebut, berbagai elemen organisasi aktivis 98 seperti Pena 98, FK 98, Barikade 98, Perhimpunan Aktivis 98, Gerak 98, dan Repdem menyatakan sikap bersama.

Baca Juga: Subsidi Upah untuk Pekerja Bergaji di Bawah Rp 3,5 Juta Kembali Cair Mulai 5 Juni 2025, Ini Mekanismenya

Mustar Bonaventura, salah satu tokoh yang menjadi perwakilan para aktivis 98, menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto akan mencederai semangat reformasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah.

Menurutnya, reformasi yang dimulai sejak 1998 bukanlah proses yang lahir begitu saja, melainkan melalui pengorbanan besar rakyat, termasuk jatuhnya korban jiwa.

“Ini bukan sekadar peringatan, tapi bentuk penolakan atas wacana menjadikan Soeharto pahlawan nasional. Kami menolak karena ini bertentangan dengan semangat reformasi,” ujar Mustar saat ditemui wartawan.

Ia menyampaikan bahwa demokrasi yang dinikmati masyarakat saat ini adalah hasil perjuangan panjang melawan rezim otoriter, yang salah satunya dilakukan melalui gerakan reformasi yang menjatuhkan Soeharto dari tampuk kekuasaan.

Baca Juga: Babak Baru Prabowo vs Jokowi Keluarga, Bak Makan Bubur Panas Langkah Jitu Prabowo Langsung Lahap Bubur Panas Bagian Tengah, Bukan Lagi Pinggiran

Menurut Mustar, tidak pantas jika sosok yang dinilai bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia selama Orde Baru, justru diangkat menjadi simbol kepahlawanan bangsa.

“Demokrasi tidak hadir secara cuma-cuma. Ada keringat, air mata, bahkan nyawa yang menjadi taruhannya. Memberikan gelar pahlawan kepada tokoh Orde Baru jelas menyakiti para korban dan aktivis yang dulu berjuang,” tegas Mustar, yang juga merupakan lulusan Universitas Kristen Indonesia (UKI).

Refleksi 27 tahun reformasi ini tidak hanya berisi pernyataan sikap, tetapi juga diisi dengan diskusi publik yang menghadirkan tokoh-tokoh kritis dari berbagai latar belakang.

Beberapa nama yang turut berbicara dalam forum ini antara lain Ray Rangkuti, Ubedillah Badrun, Abraham Samad, Bela Ulung Hapsara, Anis Hidayah, Jimly Fajar, dan Hengki Kurniawan.

Mereka semua menyampaikan pandangan yang senada bahwa sejarah kelam pelanggaran HAM tidak boleh diabaikan demi kepentingan politik sesaat.

Halaman:

Tags

Terkini