Seharusnya, menurut aturan perbankan, kredit modal kerja tanpa agunan hanya bisa diberikan kepada perusahaan yang memiliki peringkat minimum A.
Fakta lainnya, dana pinjaman yang diperoleh Sritex ternyata tidak digunakan untuk tujuan awal yakni modal kerja.
Sebaliknya, dana tersebut justru digunakan untuk membayar utang lama dan membeli aset non-produktif.
Hal ini menjadi salah satu dasar penyidik menyimpulkan bahwa telah terjadi penyalahgunaan dana.
Akibat dari praktik korupsi ini, negara menderita kerugian yang signifikan karena aset milik Sritex tidak mampu menutup nilai pinjaman yang macet.
Pihak kejaksaan juga menegaskan bahwa aset yang ada tidak dapat dijadikan jaminan karena nilainya jauh lebih rendah daripada total pinjaman.
Pada akhirnya, Sritex resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang dengan putusan nomor 2/PDT.SUS/homologasi/2024/PN Niaga Semarang.
Seluruh fakta ini memperkuat dugaan bahwa kerugian negara sebesar Rp3,58 triliun merupakan dampak langsung dari tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh para tersangka.
Kini, ketiga tersangka sudah resmi ditahan di Rutan Salemba untuk proses hukum lebih lanjut.
Mereka dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kasus ini menjadi pengingat bahwa pengawasan terhadap proses pemberian kredit di sektor perbankan harus diperketat, terlebih jika melibatkan dana publik yang berisiko merugikan negara dalam skala besar.***