Namun, semua itu masih bersifat dugaan tanpa bukti konkret yang terbuka untuk publik.
Dalam konteks demokrasi dan tata kelola organisasi yang sehat, transparansi bukan sekadar tuntutan, melainkan kewajiban.
Apalagi jika ormas tersebut aktif dalam kegiatan yang bersinggungan langsung dengan masyarakat luas dan dinamika politik nasional.
Ketika publik mempertanyakan dari mana asal dana GRIB Jaya, itu bukan bentuk tudingan, melainkan bagian dari fungsi kontrol sosial yang sah.
Baca Juga: Cuma Karena Meme, Mahasiswi Ini Diciduk Polisi, Pakar Hukum: Presiden Harus Tegur Anak Buahnya
Kritik terhadap ketertutupan finansial bukan berarti menuduh, tapi menuntut kejelasan agar organisasi tetap dipercaya dan berintegritas.
Jika GRIB Jaya ingin terus berkembang sebagai kekuatan sosial-politik yang relevan, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama.
Tanpa itu, apapun aktivitas positif yang dilakukan akan selalu dibayangi pertanyaan: siapa yang sebenarnya ada di balik layar?
Dengan posisi Hercules yang begitu kuat, baik secara personal maupun struktural dalam ormas, kini semua mata menanti: apakah ia akan menjawab pertanyaan publik, atau tetap memilih diam?
Dan jika diam menjadi pilihan, konsekuensinya bisa panjang: dari keraguan publik, hingga potensi intervensi hukum jika ada indikasi pelanggaran dalam pengelolaan dana ormas.
Satu hal pasti, di tengah maraknya kritik terhadap politisasi ormas, GRIB Jaya dan Hercules sedang berada di bawah sorotan paling tajam.***