Ia menambahkan bahwa salah satu penyebab utama munculnya konflik adalah gagalnya proses mediasi antara pihak gereja dan warga sekitar.
“Mediasi antara warga dan pihak yang ingin mengubah fungsi rumah tinggal menjadi gereja mungkin tidak selalu berhasil, sehingga konflik bisa berlanjut,” imbuhnya.
Warga yang menolak, lanjut Arieful, bisa saja menempuh berbagai aksi protes, mulai dari menutup akses jalan hingga menyampaikan surat penolakan resmi ke instansi berwenang.
Kasus seperti ini, menurutnya, tidak bisa dianggap remeh.
Baca Juga: Tragis! Sopir Truk Penabrak Angkot di Purworejo Meninggal Dunia, Polisi Ungkap Fakta Mengejutkan
Oleh karena itu, Pemerintah Kota Bekasi didesak untuk segera turun tangan menyikapi masalah ini.
“Dalam hal ini, Pemerintah Kota Bekasi harus tegas dan transparan dalam menyikapi informasi ini,” ucap Arieful dengan nada serius.
Selain itu, penting juga bagi pemerintah setempat untuk memastikan bahwa seluruh perubahan fungsi bangunan, terutama rumah tinggal yang akan dialihfungsikan menjadi rumah ibadah, harus memenuhi semua ketentuan perizinan dan memiliki persetujuan dari masyarakat sekitar.
Kejadian ini seakan membuka kembali diskusi publik tentang pentingnya regulasi yang adil dan prosedur yang transparan dalam mendirikan rumah ibadah di tengah kawasan permukiman.
Di tengah masyarakat yang majemuk, pengelolaan keberagaman memang butuh lebih dari sekadar niat baik.
Baca Juga: Sopir Truk Kecelakaan Maut Kalijambe Meninggal, Masih Bisakah Penyidik Ungkap Kasusnya
Dibutuhkan kebijakan yang bijak, akomodatif, dan tegas agar tidak memicu polemik berkepanjangan.
Kini, sorotan publik pun tertuju pada langkah apa yang akan diambil oleh Pemkot Bekasi terkait laporan ini.
Apakah akan ada evaluasi perizinan, proses mediasi ulang, atau bahkan pembongkaran terhadap bangunan yang disulap menjadi gereja?
Yang jelas, warga berharap ada kepastian dan keadilan dalam penanganan kasus ini.***