“Anak-anak teman saya minta sulap. Saya pakai blink-blink, sepatu bagus, niatnya hibur. Yang foto, ngasih uang ya saya terima saja,” ungkapnya.
Pernyataan ini menjadi bentuk klarifikasi yang cukup lengkap bahwa uang yang diterima bukan hasil mengemis, melainkan bentuk apresiasi spontan dari masyarakat.
Lebih lanjut, ia mengaku sedih ketika disebut “ngemis” oleh netizen yang tidak tahu konteks sebenarnya.
Ia merasa dihujat tanpa sebab, padahal niatnya hanya untuk bersenang-senang dan menghibur orang lain.
“Nggak minta kok, orang pada ngasih sendiri. Saya sih piknik, tapi malah dijulidin,” ucap Pak Tarno sambil tertawa kecil.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa konten yang tersebar di media sosial tidak selalu mencerminkan kenyataan.
Klarifikasi dari tokoh yang bersangkutan seperti Pak Tarno menunjukkan pentingnya menahan diri sebelum menilai seseorang secara sepihak.
Apalagi, sosok Pak Tarno bukan orang baru di dunia hiburan.
Ia sudah puluhan tahun menghibur masyarakat dengan keahliannya dalam seni sulap tradisional.
Bukan hanya tampil di televisi, ia juga dikenal sebagai sosok yang konsisten membumikan budaya sulap Indonesia ke berbagai kalangan.
Maka ketika tudingan tak berdasar seperti ini muncul, sangat wajar jika publik diminta untuk lebih bijak dalam menyikapi informasi yang viral.
Melalui sikapnya yang tenang, Pak Tarno memperlihatkan bahwa karakter kuat tidak selalu ditunjukkan dengan amarah, tapi dengan klarifikasi dan ketegasan.
Ia memilih untuk tak membalas dengan emosi, tetapi menjelaskan dengan gamblang agar publik tidak salah paham.