Bukannya mendapat penjelasan, ia justru dituduh melakukan penipuan oleh salah satu pihak.
“Saya tidak kenal sampeyan, sampeyan penipuan,” ujar Diana, sebagaimana dituturkan kembali oleh Armuji.
Merasa ada yang tidak beres, Armuji menilai bahwa perusahaan tersebut telah melanggar hak dasar tenaga kerja dengan menahan ijazah tanpa alasan yang bisa dibenarkan.
Menurutnya, pendidikan adalah hak dasar, dan ijazah merupakan bukti sah hasil pendidikan yang seharusnya tak bisa ditahan semena-mena.
Ia menekankan bahwa menahan ijazah adalah bentuk pemiskinan struktural yang menghambat anak muda untuk melangkah ke masa depan.
“Sekolah saja sekarang gratis, masa anak ini sudah kerja, mau keluar tapi ijazahnya ditahan? Itu ijazah SMA, yang ditempuh tiga tahun. Hak hidupnya dipersulit,” tegasnya.
Tak hanya itu, Armuji juga mengajak masyarakat agar tidak mudah termakan narasi negatif yang menyudutkan pejabat publik.
Menurutnya, sudah seharusnya pejabat hadir untuk membela rakyat secara konkret, bukan sekadar hadir saat seremoni.
Meski dilaporkan ke polisi, Armuji tidak gentar. Ia menegaskan siap menghadapi segala konsekuensi atas tindakannya yang membela warga.
“Saya siap dengan konsekuensi apa pun. Termasuk menghadapi laporan polisi itu. Kalau dipanggil, saya akan hadir dan jelaskan bahwa saya melakukan ini demi membela kebenaran dan keadilan. Saya tidak takut,” ujar Armuji, Jumat 11 April 2025.
Hingga kini, pihak pelapor belum memberikan keterangan lebih lanjut terkait laporan tersebut.
Namun, publik sudah mulai ramai membicarakan ketimpangan antara upaya menegakkan keadilan dengan ancaman hukum yang justru dialamatkan kepada pejabat yang turun langsung ke lapangan.
Kasus ini bukan cuma soal sengketa antara pejabat dan perusahaan. Ini soal bagaimana negara hadir atau absen dalam menjamin hak dasar rakyatnya.