HUKAMANEWS – Gelombang penolakan terhadap revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) terus mencuat.
Meskipun DPR telah mengesahkan revisi ini tanpa penolakan dari fraksi mana pun, perdebatan di masyarakat tetap berlangsung sengit.
Mengapa revisi ini mendapat resistensi di tengah kesepakatan parlemen?
Revisi UU TNI menjadi isu panas dalam dinamika politik Indonesia. Sejumlah kelompok, termasuk mahasiswa, NGO, dan koalisi masyarakat sipil, menyuarakan kekhawatiran terhadap beberapa poin dalam revisi tersebut.
Baca Juga: Rapat DPR RI di Hotel Mewah Saat Efisiensi Anggaran, Publik Bertanya: Prioritas atau Pemborosan?
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menanggapi protes ini sebagai bagian dari demokrasi yang sehat.
“Ya namanya juga dinamika politik kan, demokrasi. Saya pikir sah-sah saja untuk yang masih belum menerima revisi UU TNI ini,” ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025.
Pernyataan Dasco menegaskan bahwa DPR telah mendengar berbagai pandangan sebelum mengesahkan revisi tersebut.
Ia mengklaim bahwa proses dialog dengan elemen masyarakat telah dilakukan guna mengakomodasi berbagai kepentingan.
“Kami sudah berbicara dengan kelompok-kelompok mahasiswa, kelompok-kelompok NGO, termasuk koalisi masyarakat sipil. Kami undang mereka untuk berdialog dan memberikan masukan yang juga kami akomodasi dalam revisi UU TNI,” jelasnya.
Namun, meskipun proses legislasi telah selesai, penolakan tetap terjadi di berbagai kalangan.
Isu utama yang menjadi perhatian adalah kemungkinan bertambahnya kewenangan TNI dalam ranah sipil, yang dikhawatirkan bisa menggeser keseimbangan antara kekuatan militer dan demokrasi.
Tidak adanya fraksi DPR yang menolak revisi ini dalam Rapat Paripurna ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 juga menjadi sorotan.
Baca Juga: Di Tengah Anjloknya IHSG, RUU TNI Bakal Disahkan Pekan Ini, Seruan Tolak RUU TNI Kembali Bergema!