Selain itu, dalam beberapa komentar yang muncul di X, netizen juga menilai bahwa pemegang gelar kehormatan seharusnya mempertimbangkan perasaan publik, apalagi jika gelar tersebut tidak diakui oleh pihak pemerintah.
“Raffi Ahmad kok nggak malu ya wkwkw,” tulis @mus, mengungkapkan kekesalan mereka terhadap penggunaan gelar tersebut dalam acara-acara resmi.
Gelar Abal-Abal atau Penghargaan Terhormat?
Fenomena gelar kehormatan bagi tokoh publik memang selalu menarik perhatian.
Di satu sisi, gelar ini diberikan sebagai penghormatan atas kontribusi tertentu, tetapi di sisi lain, hal ini juga rentan menimbulkan persepsi negatif jika gelar tersebut tidak diakui secara resmi atau berasal dari institusi yang tidak terakreditasi.
Beberapa akademisi juga menyatakan keprihatinannya, bahwa fenomena ini dapat merusak nilai dari gelar akademik itu sendiri.
Sebuah komentar dari @lin di X bahkan menyebutkan, “To be fair, yang minta maaf kan UI bukan Bahlil. Raffi and Bahlil are still two peas in the same pod lah.”
Meski tidak menyebut nama Raffi secara langsung, perbandingan ini mempertegas bahwa publik memiliki harapan yang sama terhadap setiap institusi yang memberikan gelar kehormatan.
Harapan Masyarakat: Kejelasan dan Ketegasan Institusi Pendidikan
Penangguhan gelar Bahlil oleh UI serta desakan terhadap UIPM untuk meninjau ulang gelar Raffi Ahmad mengungkapkan harapan masyarakat terhadap kejelasan dan ketegasan dari institusi pendidikan tinggi.
Mereka ingin agar setiap gelar yang diberikan memiliki nilai dan integritas yang sesuai dengan standar akademik.
Banyak warganet berharap bahwa fenomena ini menjadi refleksi bagi lembaga pendidikan dan figur publik dalam menjaga nilai akademik agar tidak sembarangan memberikan atau menerima gelar yang nantinya dapat dipertanyakan oleh masyarakat.***