Banyak pelaku yang menyerang tempat-tempat umum seperti sekolah, bioskop, supermarket, hingga gereja.
Kebanyakan dari mereka mengungkapkan kemarahan, fantasi kekerasan, atau rencana mereka sebelum melakukan serangan.
Dalam kasus Crooks, penyelidik menemukan tanda-tanda serupa.
Informasi dari telepon Crooks menunjukkan bahwa ia pernah membaca berita tentang penembakan di Sekolah Menengah Oxford di Michigan pada tahun 2021, serta menelusuri artikel tentang gangguan depresi berat.
Selama beberapa bulan terakhir, Crooks menerima banyak paket yang diberi label sebagai bahan berbahaya.
Ia juga diketahui memiliki ketertarikan pada senjata sejak kecil, mengikuti jejak ayahnya yang memiliki belasan senjata, termasuk senapan jenis AR-15 yang digunakan dalam penembakan Trump.
Meskipun Crooks mencoba bergabung dengan tim menembak di SMA Bethel Park, ia gagal karena akurasi tembakannya yang buruk.
Ahli yang mempelajari sejarah kekerasan bersenjata menyebut bahwa Crooks lebih menyerupai pelajar penembak abad ke-21 dibandingkan dengan aktor John Wilkes Booth, pembunuh Presiden AS Abraham Lincoln.
James Densley, pendiri Violence Project, menyatakan bahwa serangan terhadap presiden biasanya dianggap bermotif politik.
Namun, dalam kasus Crooks, tampaknya lebih merupakan upaya melakukan kekerasan massal dengan memilih kampanye politik sebagai target.
Kathleen Puckett, mantan analis perilaku FBI, mengungkapkan bahwa Crooks tidak mempersiapkan diri dengan daya tembak besar seperti pelaku penembakan massal lainnya.
Dia hanya membawa satu senjata, tanpa pelindung tubuh, yang menunjukkan niat serangan yang lebih spesifik dan tidak acak.