nasional

Redenominasi Beda dengan Sanering, Ini Dampaknya untuk Uang Rupiah

Senin, 10 November 2025 | 14:09 WIB
Wacana redenominasi rupiah mengemuka. Apa bedanya dengan senering?

HUKAMANEWS — Wacana redenominasi rupiah kembali mengemuka. Pemerintah menargetkan pembentukan payung hukum Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) selesai pada tahun 2027. Rencana ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029.

“RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027,” ujar Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, seperti dikutip dari BeritaSatu.com (7/11/2025).

Langkah ini menandai keseriusan pemerintah dalam menyederhanakan nominal mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya. Rencana serupa sebenarnya telah digagas sejak masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, namun sempat tertunda akibat tekanan ekonomi global dan pandemi.

Apa Itu Redenominasi Rupiah?

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi merupakan penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah daya beli. Dengan kata lain, pemotongan tiga angka nol pada pecahan uang tidak berarti pemotongan nilai riil.

Misalnya, uang Rp10.000 akan menjadi Rp10 dalam satuan baru, namun nilainya tetap setara. Tujuannya untuk menyederhanakan transaksi, memudahkan pencatatan akuntansi, dan membuat sistem keuangan lebih efisien.

Menurut riset Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik (2015), pecahan rupiah saat ini termasuk yang terbesar di dunia setelah Zimbabwe dan Vietnam. Hal ini menimbulkan ketidakefisienan dalam transaksi keuangan dan sistem pembayaran digital.

Redenominasi Bukan Sanering

Banyak masyarakat kerap keliru mengartikan redenominasi sama dengan sanering. Padahal, keduanya memiliki makna dan dampak yang sangat berbeda.

Redenominasi dilakukan saat ekonomi dalam kondisi stabil, bertujuan menyederhanakan struktur mata uang tanpa mengubah nilai barang dan jasa. Sebaliknya, sanering terjadi dalam kondisi krisis, dan sering kali memotong nilai uang secara drastis sehingga daya beli masyarakat turun tajam.

Contohnya, sanering pernah dilakukan pada 1965, ketika inflasi Indonesia menembus 650 persen per tahun. Pemerintah kala itu menukar uang lama Rp1.000 menjadi Rp1 uang baru, menyebabkan banyak warga kehilangan nilai simpanannya.

Redenominasi justru dirancang agar nilai rupiah lebih “ringan dibaca” tanpa merugikan masyarakat.

Plus dan Minus Redenominasi

Dari sisi positif, redenominasi membuat sistem keuangan lebih efisien. Angka dalam laporan keuangan dan transaksi perbankan menjadi lebih sederhana, menghemat biaya teknologi, dan mempermudah perhitungan.

Namun, kebijakan ini juga tidak bebas risiko. Pemerintah harus menyiapkan biaya besar untuk mencetak dan mendistribusikan uang baru, serta melakukan sosialisasi masif agar masyarakat tidak salah paham.

Jika dilakukan di saat inflasi tinggi, ada potensi pedagang menaikkan harga dengan dalih “penyesuaian nominal”, yang dapat memicu inflasi terselubung. Karena itu, keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada stabilitas ekonomi, inflasi yang rendah (idealnya di bawah 3 persen), dan kesiapan masyarakat.

Kapan Waktu yang Tepat?

Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan menilai kebijakan redenominasi hanya bisa dijalankan ketika ekonomi nasional benar-benar sehat dan sistem keuangan stabil.
Prosesnya pun akan dilakukan bertahap, mulai dari pengenalan simbol baru rupiah, masa transisi dengan dua sistem nominal berjalan bersamaan, hingga penerapan penuh setelah masyarakat terbiasa.

“Pemerintah ingin memastikan kebijakan ini berjalan dengan baik, tanpa menimbulkan kepanikan atau kebingungan di masyarakat,” ujar Purbaya menegaskan dalam kesempatan terpisah.

Halaman:

Tags

Terkini