HUKAMANEWS – Indonesia baru saja gagal memperoleh gelar satupun dalam turnamen All England. Padahal sejak lama, Indonesia menjadi salah satu kekuatan utama di All England dengan total 52 gelar juara. Tradisi juara ini bahkan sempat terjaga di sektor ganda sejak 2016, kecuali pada 2021 akibat pandemi COVID-19.
Ketika tren positif itu kini terhenti, menandakan ada persoalan mendasar dalam sistem pembinaan. Salah satu indikasi stagnasi terlihat dari makin sulitnya pemain Indonesia bersaing di level tertinggi. Fajar/Rian yang diharapkan bisa mempertahankan gelar justru gagal menunjukkan konsistensi.
Ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai kesiapan mental dan strategi mereka dalam menghadapi tekanan sebagai juara bertahan.Selain itu, fakta pasangan nonpelatnas, Sabar Karyaman Gutama/Muhammad Reza Pahlevi, mampu melaju hingga semifinal makin menegaskan adanya masalah dalam sistem pembinaan.
Jika atlet yang berlatih secara mandiri bisa mencapai hasil lebih baik daripada mereka yang dibina langsung oleh PBSI, maka evaluasi terhadap pola pelatihan dan manajemen tim nasional menjadi keharusan.
PBSI sebenarnya telah merancang roadmap kepelatihan 2025 dengan tujuan utama Olimpiade Los Angeles 2028.Para pelatih diberi kebebasan bereksperimen dengan pasangan ganda, dan diharapkan pada 2026, kombinasi yang lebih stabil dapat terbentuk. Namun, hasil di turnamen-turnamen awal 2025 masih jauh dari harapan.
Dari tujuh turnamen dalam kalender BWF musim 2025 yang telah berlangsung, hanya satu gelar yang diraih Indonesia melalui ganda putri Siti Fadia Silva Ramadhanti/Lanny Tria Mayasari di Thailand Masters 2025. Selebihnya, wakil Indonesia pulang dengan tangan hampa, termasuk di All England.
Sementara Indonesia kesulitan meraih gelar, negara-negara pesaing makin menunjukkan perkembangan pesat.Korea Selatan mendominasi dengan 11 gelar sepanjang musim 2025 di tur BWF, diikuti Jepang dan Thailand masing-masing lima gelar, serta China dengan empat gelar.
Mereka tampaknya menerapkan strategi regenerasi yang efektif, inovasi dalam pola latihan, serta pemanfaatan sport science untuk meningkatkan performa atlet.Dari segi teknis, pebulu tangkis Indonesia masih memiliki kelemahan dalam hal ketahanan fisik dan adaptasi strategi. Banyak pemain terlihat kehabisan tenaga saat memasuki gim penentuan, menunjukkan perlunya peningkatan dalam program kebugaran dan pola makan atlet.
Kurangnya variasi permainan juga membuat strategi mereka mudah terbaca oleh lawan.Secara mental, tekanan sebagai negara dengan sejarah panjang di All England justru seperti menjadi beban tersendiri. Para pemain terlihat kurang percaya diri dalam momen-momen krusial, yang akhirnya berdampak pada hasil pertandingan.
Reformasi dalam sistem pembinaan atlet.Investasi dalam teknologi analisis pertandingan, pengembangan sport science, serta peningkatan kualitas pelatih harus menjadi prioritas utama. Tidak cukup hanya mengandalkan bakat alami tanpa dukungan sistem yang baik.
PBSI juga perlu lebih terbuka terhadap sistem pembinaan. Menerima masukan-masukan dari pihak luar dan berbenah.Jika atlet yang berlatih secara mandiri bisa meraih hasil lebih baik, PBSI perlu membuka pintu bagi mereka.
Artikel Terkait
Pasangan Ganda Putra Sabar/Reza Siap Berikan Permainan Terbaik di Final All England 2025
Di Saat Timnas Keok 1:5 Hadapi Australia, Shin Tae Yong Keciduk Asyik Berburu Takjil, yang Nyariin STY Lagi War Takjil Nih Orangnya!
Luapan Kemarahan Netizen Olok-olok Erick Thohir yang Pecat Shin Tae Yong, Usai Timnas Garuda Kalah 1:5 dari Australia
Netizen Berspekulasi Atas Kekalahan Timnas, Ada yang Menduga Campur Tangan Bung Towel dan ET yang Tunduk Pada Mafia
Ole Romeny Buktikan Semangat Bermainnya Untuk Timnas Indonesia, Cetak Gol Tunggal Indonesia Lawan Australia