Selain itu, Pixel 10 global juga tidak mendukung beberapa band 5G penting seperti n29, n48, dan n70, yang justru banyak dipakai oleh operator kecil atau MVNO di AS.
Akibatnya, sebagian pengguna bisa mengalami keterbatasan jaringan, terutama bila tidak berada di area dengan dukungan band utama.
Reaksi Publik: Antara Bingung dan Kesal
Fenomena ini membuat sejumlah pengguna merasa “setengah untung, setengah buntung”.
Di satu sisi, adanya slot SIM fisik memberi fleksibilitas lebih. Di sisi lain, hilangnya dukungan mmWave bisa dianggap sebagai downgrade yang merugikan.
Di forum online, beberapa pengguna bahkan mempertanyakan konsistensi Google dalam menyediakan layanan purna jual.
Apalagi, konsumen membayar harga premium untuk Pixel 10, dengan harga mulai \$799 (sekitar Rp12,5 juta) untuk varian reguler hingga \$1.199 (sekitar Rp18,8 juta) untuk Pixel 10 Pro XL.
Konteks Lebih Luas: Masa Depan Tanpa SIM Fisik
Keputusan Google meninggalkan slot SIM fisik di pasar AS sejalan dengan tren industri. Apple sudah lebih dulu melakukannya pada iPhone 14 versi AS.
Operator besar seperti Verizon, AT\&T, dan T-Mobile juga gencar mendorong adopsi eSIM.
Namun, peralihan ini masih menimbulkan resistensi. Banyak pengguna merasa eSIM belum sepraktis kartu SIM biasa, terutama bagi mereka yang sering bepergian atau gonta-ganti operator.
Di Indonesia sendiri, mayoritas ponsel flagship masih menawarkan kombinasi nano-SIM dan eSIM, sehingga transisi terasa lebih mulus.
Jika tren ini masuk ke Tanah Air, kemungkinan akan ada perdebatan serupa.